LAJU
ENDAP DARAH (LED)
Laju Endap Darah (LED) adalah salah satu tes
laboratorium tertua yang masih digunakan. Nilai LED dapat meningkat dalam beberapa
kasus atau masalah fisiologis, seperti kehamilan dan banyak kasus patologis,
biasanya Karena peradangan, anemia, paraproteinemia, kenaikan fibrinogen,
pembekuan aglutinin dan beberapa kasus lainnya. Penyebab
utama nilai LED meningkat yang sering terjadi tidak diketahui; Namun, secara
empiris, LED meningkat dikaitkan dengan peradangan akibat infeksi serta faktor
non infeksius seperti: rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosus, nekrosis jaringan dan penyakit
inflamasi usus. [3]
Secara historis, LED dilakukan dengan mengamati laju
pengendapan sel darah merah, menggunakan tabung panjang yang ditegakkan secara vertikal,
di bawah pengaruh gravitasi. Metode pengujiannya telah berevolusi dari
metode Westergren klasik menjadi sentrifugasi dalam
tabung kapiler dengan laser pendeteksi laju endap. Pengujian
LED terbaru dapat diselesaikan dalam waktu lima menit atau kurang dibandingkan
dengan metode klasik yang menghabiskan waktu selama satu jam. Hasil tes LED
biasanya dilaporkan dalam mm/jam. Nilai normal atau rentang referensi memiliki variasi berdasarkan usia dan jenis
kelamin dan variasinya dari <15 mm/jam sampai <40 mm/jam.[3]
Kecepatan
pengendapan elemen darah yang
terbentuk dalam jumlah yang telah ditetapkan
dalam satuan waktu, juga
dikenal sebagai Laju Endap Darah (LED), digunakan di seluruh dunia oleh para dokter dalam upaya untuk menilai respon inflamasi akut.
Hasil LED diperhitungkan dalam banyak praktek dan urutan
pengambilan keputusan sebagai cara
untuk menentukan adanya peradangan aktif. Namun, LED adalah indikator yang tidak dipahami dengan baik mulai
agregasi, presipitasi, dan packing dari sel darah merah yang dimudahkan oleh beberapa protein plasma, termasuk fibrinogen dan imunoglobulin,
dan dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk sel darah merah. Oleh karena uji ini tidak memiliki spesifikasi, klinis ahli kimia dan ahli patologi yang memimpin laboratorium klinis di mana pengukuran
LED dipercaya
merupakan tes yang sangat
tidak sempurna. Metode pengujian ESR dikembangkan oleh R.S. Fahraeus dan A.V.A Westergren. Metode asli pertama kali dijelaskan pada
tahun 1921, dan modifikasi dari metode asli ini telah dipilih sebagai referensi standar oleh beberapa agensi. Secara umum, metode ini menggunakan darah yang telah dicampurkan
antikoagulan dan diencerkan
kemudian ditempatkan dalam tabung Westergren-Katz, yang harus berdiri dalam
posisi vertikal di rak selama 1 jam pada suhu kamar. Hasilnya adalah pengukuran
dalam milimeter dari bagian atas eritrosit. Metode ini merupkan metode manual dan memiliki banyak faktor preanalitik dan analitik yang dapat mengubah hasil. [2]
Pada
praktikum ini, darah harus diperoleh benar-benar dari penusukan vena dengan
waktu paling lama 30 detik. Pengambilan secara manual atau menggunakan alat
venipuncture dapat dilakukan, dan darah harus dicampur dengan antikoagulan EDTA
(K2 atau K3) dilusi <1% atau trisodium sitrat
dihidrat.[4]
Dari hasil pengamatan, diperoleh
nilai LED dari probandus Ni Made Dwi Kartika Larasuci dengan umur 18 tahun
berjenis kelamin perempuan adalah sebesar 73 mm/jam. Ini menandakan bahwa nilai
LED dari probandus tersebut melebihi batas normal yaitu kurang dari 20 mm/jam.
Pada saat melakukan pemipetan, pipet
harus dalam keadaan tegak vertical, terlindungi dari cahaya matahari langsung,
senggolan dan getaran, dan disimpan pada temperature konstan kurang lebih 1oC
dalam rentang 18-25oC selama proses pengendapan.[4]
Hasil harus dicatat selama proses
pengendapan yaitu 60 menit dari pada saat tes dimulai dan dicatat dalam satuan mm/jam.[4]
LED tinggi bias mengindikasikan
beberapa penyakit. Salah satunya adalah Bakteri Otitis Media. ESR atau CRP telah terbukti meningkat pada 55% dari 31
pasien dengan otitis media. Infeksi telah didokumentasikan dengan mengkultur tympanocentesis
microorganismvia. Anak-anak ini sehat. Kebanyakan dari mereka demam (90%) dan tidak satupun dari mereka
sakit parah atau memiliki tanda-tanda infeksi bakteri lainnya selama
penelitian. Mereka dengan ESR tinggi atau CRP memiliki risiko lebih tinggi
untuk duobati. Sejak penelitian ini adalah kecil, penelitian yang
lebih besar diperlukan sebelum mengkonfirmasikan data ini. Dari
data ini, menunjukkan respon
inflamasi sistemik yang sama sepertibeberapa anak dengan tidak memiliki otitis media.[1]
DAFTAR PUSTAKA
[1] CONSTANTINE SAADEH, MD,
Amarillo, Tex,2014, The Erythrocyte Sedimentation Rate: Old and New Clinical
Applications,
[http://www.galenica.cl/wp-content/uploads/2014/10/The-Erythrocyte-Sedimentation-Rate_Old-and-New-Clinical-Applications.pdf]
[2]
Guarner, J, Dolan, H, & Cole, L 2015, 'Erythrocyte Sedimentation Rate:
Journey Verifying a New Method for an Imperfect Test', American Journal Of
Clinical Pathology, 144, 4, pp. 536-538, MEDLINE with Full Text, EBSCOhost,
viewed 28 September 2016.
[3]
Gurmukh Singh.2014.C-reactive
protein and erythrocyte sedimentation rate: Continuing role for erythrocyte sedimentation
rate.[
http://file.scirp.org/pdf/ABC_2014021013285184.pdf].
Advances in Biological Chemistry
[4]
J. M. Jou, dkk.2011. ICSH
review of the measurement of the erythrocyte sedimentation rate.[
http://www.islh.org/web/downloads/ICSH_Standards/Sed%20Rate%20IJLH%202011.pdf].
International Journal of Laboratory Hematology.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar